Tujuh Unsur dalam Diri Manusia

Manusia adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya cipataan Allah. Sebagai makhluk paling sempurna, manusia mempunyai tujuh unsur dalam dirinya yang disatukan dalam satu wadah, yaitu "RAGA". Ketujuh unsur tersebut jika digambarkan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Tujuh Unsur dalam Diri Manusia
Dari ketujuh unsur yang tergambar di samping, terkadang manusia tidak menyadari bahwa salah satu atau sebagian dari unsur tersebut telah menguasai dirinya. Jika manusia tidak dapat menguasainya, maka yang akan terjadi adalah kerusakan, baik itu kerusakan materi, ataupun kerusakan akhlak yang sejatinya manusia itu berakhlak baik jika bisa menguasai ketujuh unsur tersebut. Kendati demikian, sangat sulit bagi manusia untuk memahami, dan bahkan mengenali siapa sebenarnya dirinya itu, karena memang tidak semua manusia (bahkan mungkin sebagian besar manusia) mampu mengenali siapa sejatinya dirinya itu. Maka Nabi Muhammad SAW selalu mengajarkan tentang akhlak-akhlak yang mulia, karena manusia sering lupa bahwa dirinya dikuasai oleh salah satu atau sebagian dari unsur tersebut bukannya menguasai.

Di bawah ini akan kita bahas satu per satu tentang ketujuh unsur tersebut dan bagaimana cara menguasainya menurut ajaran Islam agar kita tidak dikuasai kemudian terjerumus ke dalam kerusakan


1. RAGA
Raga sebagai wadah utama manusia di dunia menjadi ikon penting dalam kehidupan sehari-hari selama di dunia. Raga adalah satu-satunya unsur manusia yang dapat di lihat (kasat mata), sedangkan unsur lainnya tidak (walaupun sebagian dapat dirasakan). Raga juga termasuk wadah yang dikuasai enam unsur lainnya. Dalam kelakuannya, raga mengikuti apa yang diperintahkan Nafsu, Emosi, Akal, Jiwa, Kolbu, dan Ruh.

Sebagai satu-satunya unsur yang dapat dilihat, maka islam mengajarkan kita untuk menutup aurat, maka Pakaian  adalah pagar dari raga manusia. Yang dimaksud pakaian disini adalah pakaian yang menutup aurat manusia seperti yang disyar'ikan oleh agama Islam. Karena manusia akan dimuliakan jika dia dapat memuliakan dirinya sendiri, dalam hal ini dimulai dari memuliakan raga kita. Ada sebuah pepatah dalam bahasa jawa yang berbunyi, "Ajineng Raga jalaran soko Busana", dimana "Aji" bisa diartikan sebagai "Nilai/Derajat", jadi jika manusia yang tidak mampu memberikan Aji (Ngajeni) dirinya sendiri berarti dia mengakui bahwa dirinya memang tidak bernilai atau tidak punya derajat.


2. NAFSU
Nafsu atau sering disebut hawa nafsu adalah kecenderungan, keinginan, dan hasrat atau dorongan yang begitu kuat untuk melakukan atau memiliki sesuatu. Kebanyakan orang selalu menafsirkan nafsu sebagai sesuatu yang negatif, padahal tidak semua nafsu bertujuan negatif, misalkan nafsu birahi, jika nafsu tersebut dirujukan kepada orang yang bukan wanita/lelaki yang halal buat kita, itu haram, tetapi jika itu ditujukan kepada wanita/lelaki halal kita, itu hukumnya wajib. Nafsu juga dapat berupa berbagai bentuk, misalkan seseorang ingin terkenal, ingin rumah mewah, ingin banyak uang, ingin istri yang cantik, dan semua keinginan itu sebenarnya adalah benih dari nafsu itu sendiri. Dari kesemua keinginan tersebut, memang ada yang negatif ada yang positif, karena tanpa nafsu, manusia juga tidak akan berkembang seperti saat ini. Ketidakpuasan akan sesuatu akan menghasilkan gagasan-gagasan baru, ide-ide baru yang kemudian akan menjadi perkembangan teknologi sampai saat ini.

Nafsu adalah unsur yang paling sering mempengaruhi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Saat seseorang beranjak dewasa, misalkan umur 12 tahun hingga 40 tahun, nafsu sangat mempengaruhi perjalanan manusia, karena di kurun waktu terebut, unsur nafsu ini berkembang dengan sangat pesatnya sesuai dengan lingkungan yang diserap oleh orang tersebut. Maka dari itu, Nabi kita Muhammad SAW mengajarkan untuk berpuasa bagi orang yang belum mampu dan belum siap untuk menikah, supaya kita tidak terjerumus dalam keinginan nafsu yang akhirnya akan membuat kita berbuat dosa atau zina.

Menurut sebuah hadits, nafsu adalam musuh terbesar manusia, seperti diriwayatkan dalam sebuah hadits,

Dalam riwayat Al-Khathib disebutkan, bahwa ketika NabiShallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat baru saja dari suatu peperangan, beliau bersabda kepada mereka,

“Kalian telah kembali ke tempat kedatangan terbaik, dari jihad yang lebih kecil menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu? Nabi bersabda, “Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya.”

Mungkin ada dari sebagian kalangan menolak hadits di atas dan menganggap statusnya Hadits Da'if (Lemah). Tapi jika kita kaji lebih jauh dengan akal pikiran (dimana akal pikiran yang membedakan manusia dengan hewan) bahwa yang tersurat dalam hadits terebut benar-benar terjadi saat ini. Bagaimana tidak, musuh umat Islam saat ini (terutama di Indonesia) bukanlah orang kafir, tetapi diri mereka sendiri, yaitu hawa nafsu, Misalkan banyak sekali sekarang pasangan di luar nikah berani dan menganggap enteng perbuatan zina, dan itu dilakukan oleh banyak kalangan umat Islam sendiri. Tapi kita tidak boleh memandang sebelah mata rang-orang yang terlajur berbuat demikian, apa yang harus kita lakukan, pertama hindari, kedua nasihati, dan yang ketiga kita do'akan saja (jangan sampai pembaca menjadi radikal karena membaca artikel ini, itu bukan tujuan penulis dalam menuliskan artikel ini)

Satu kunci yang bisa memagari hawa nafsu kita adalah Syukur, kita harus selalu mensyukuri apa yang kita miliki, bahkan bukan hanya apa yang kita miliki, tetapi apa yang tidak kita miliki pun harus kita syukuri. Karena begini, jika kita berjalan di jalan Allah, jalan yang lurus, rencana Allah itu pasti lebih baik daripada rencana makhluknya, makanya dalam bahasa inggris ada istilah, "The Best Planner is Allah". Jadi mulai sekarang, kurangi mengeluh akan sesuatu yang tidak bisa kita capai (yang tertunda ataupun yang tidak  bisa sama sekali), karena sejatinya segala bentuk keinginan manusia adalah ujian, harta adalah ujian, jabatan adalah ujian, dan semuanya adalah ujian, mungkin, jika kita tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan, disitu Allah sudah tahu bahwa kita tidak mampu melaksanakan dan memelihara apa yang kita inginkan yang akhirnya hawa nafsu menguasai kita.


3. EMOSI
Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan manusia kepada sesuatu baik itu kepada dirinya sendiri, kepada orang lain, kepada makhluk lain, kepada alam, bahkan kepada Allah (bagi yang tidak bisa menerima Qodar/Takdir Allah). Unsur ini akan terasa sejak kita dilahirkan, bahkan sejak kita belum mampu sadar /belum mampu mengingat (misalkan bayi). Sebagai contoh mudah, unsur ini dapat dirasakan dalam bentuk Cinta, Marah, Merasa Bersalah, Senang, Gembira, Duka, Sedih, Galau dan lain sebagainya. Memang sedikit sulit membedakan Nafsu dan Emosi, karena semua unsur saling mempengaruhi. Misalkan saya berikan satu contoh,

Ketika dihina oleh orang lain, dia akan marah, nah, kemarahan ini adalah Emosi, kemudian dia berniat untuk membalas, ini adalah Nafsu, ketika membalas misalkan terjadi perkelahian, yang kena adalah Raga, setelah itu yang timbul adalah kebencian dan dendam, ini adalah Penyakit Hati (Qolbu). Setelah yang demikian, akan muncul efek radikalisme, yang kemudian Jiwa kita terbawa menjadi Jiwa Radikalisme. Lengkap sudah, karena satu masalah yang tidak bisa diselesaikan secara baik, menjadikan banyak masalah yang akan ditimbulkan.

Nah, dari contoh tersebut, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa jika kita tidak mampu mengendalikan satu masalah, maka dibelakangnya akan timbul banyak masalah. Sebenarnya hal ini sudah disiratkan dalam lagu anak-anak dalam bahasa jawa, yaitu:

E... Dayohe Teko, E... Gelarno Kloso, E... Klosone Bedah, E... Tambalno Jadah, E... Jadah'e Mambu, E... Pakakno Asu, E... Asune Mati, E... Guwak Neng Kali, E... Kaline Banjer, dst
(E... Tamunya Datang, E... Gelarkan Tikar, E... Tikarnya Sobek, E... Ditambal Jadah, E... Jadahnya Basi, E... Kasi Makan Anjing, E... Anjingnya Mati, E... Buang ke Kali, E... Kalinya Banjir, dst)

Dalam lagu tersebut yang notabene adalah lagu anak-anak di kalangan suku jawa, tapi sebenarnya ada makna tersirat dalam lagu tersebut, yaitu ketika ada masalah datang jika tidak diselesaikan secara baik, maka akan merembet menjadi anak-anak masalah yang lain.

Kita kembali kepada pembahasan emosi. Sebenarnya segala bentuk emosi ini mempunyai nilai positif dan negatif tergantung obyek dan tujuan emosi tersebut. Misalkan emosi Cinta, cinta kepada anak, kepada orang tua, kepada Nabiyullah, kepada Allah, dan kepada semua ciptaannya adalah bentuk cinta yang positif. Tetapi cinta kepada lawan jenis yang bukan muhrim dan wanita/lelaki halalnya dalam "arti khusus", itu sebenarnya bukan cinta, tetapi Nafsu lebih menguasai cinta itu sendiri. Jadi perlu dibedakan antara Emosi Cinta dan Nafsu Cinta. Karena yang sering dilakukan oleh remaja islam sekarang adalah mengatasnamakan cinta yang kemudian mau melakukan apapun demi pasangan yang dia cintai walau itu melanggar ajaran islam, jika sudah begitu, bukan cinta lagi yang muncul, tapi nafsu. Dengan kata lain, jika seorang pasangan benar-benar mencintai pasangannya, maka dia tidak akan menjerumuskan pasangannya kedalam kerusakan. Jadi, siapapun pembaca, terutama yang belum menikan dan masih menjalani istilah "pacaran", jika pasanganmu menginginkan sesuatu darimu dimana itu melanggar aturan agama dengan mengatasnamakan cinta, maka jangan pernah percaya kalau itu cinta, itu adalah Nafsu Negatif.

Satu kunci untuk memagari dan mengontrol Emosi adalah Sabar. Ada sebuah istilah, "Sabar itu tidak ada batasnya, kalau ada batasnya berarti tidak sabar", maksudnya batas dari kesabaran adalah ketidaksabaran itu sendiri. Jadi jika ada orang mengatakan kesabaran itu ada batasnya, berarti yang mengatakan hal itu memang sejatinya tidak sabar. Sabar adalah perbuatan yang diperintahkan langsung oleh Allah dan Rosulullah seperti ayat di bawah ini,

Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (Q.S. Asy-Syuura 43).

dan sebuah Hadits dari Rosulullah,

Abu Jahja (Shuhaib) bin Sinan Arrumy r.a berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w : Sangat mengagumkan keadaan seorang mu’min, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mu’min : jika mendapat ni’mat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan (ia) sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. (H.R. MUSLIM)


4. AKAL/PIKIRAN

*** TO BE CONTINUE ***





Komentar anda sangat diharapkan untuk ikut membangun blog ini! Syarat berkomentar:
1. Isi berupa saran dan kritik yang membangun
2. Tidak berisi kata sara, ejekan, atau hinaan terhadap satu atau sebagian kaum
3. Apabila ada perbedaan pendapat silakan sampaikan secara musyawarah & mufakat

Related

Tasawuf 345225354953536449

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Follow Us

Like Us

Live Traffic

item