Hukum Selamatan / Kondangan

Pernahkah saudara mendengar atau bahkan mengalami sendiri selamatan atau kondangan yang sering diadakan oleh masyarakat di Indonesia? Entah itu selamatan untuk leluhur, selamatan untuk bayi dalam kandungan atau yang sudah terlahir, selamatan ketika membangun rumah, selamatan maulid nabi, atau selamatan yang lainnya dan tentunya masih banyak lagi. Kesemuanya itu adalah warisan adat istiadat penduduk terdahulu yang dipertahankan oleh para wali penyebar agama islam di tanah Indonesia. Tahukan anda, darimana asal usul selamatan itu sendiri dan bagaimana hukumnya menurut islam sendiri? Mari kita bahas sejenak tentang asal muasal, permasalahan, dan hukum menurut syariat islam sendiri.


Sejarah Selamatan

Selamatan sudah ada sejak jaman dahulu waktu nenek moyang kita belum punya agama. Mereka percaya bahwa roh-roh leluhur mereka mampu menyelamatkan mereka dari marabahaya dan bencana yang tidak diinginkan. Maka dari itu, nenek moyang kita sejak dahulu sudah kental dengan sesaji dan mantra-mantra untuk meminta berkah maupun keselamatan dari yang mereka sembah.
Sejak agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, budaya selamatan tetap bertahan, tetapi yang mereka mintai keberkahan dan keselamatan adalah dewa-dewa menurut kepercayaan agama itu sendiri. Budaya ini tidak bisa dihilangkan sekaligus, ibaratnya budaya ini sudah mendarah daging di kalangan masyarakan Indonesia.

Pada saat Islam masuk ke Indonesia dan mulai disebarkan, para penyebar agama, terutama para wali dan ulama jaman dahulu menyebarkan agama Islam melalui budaya dan kebiasaan masyarakan setempat. Contohnya mereka dilatih tari-tarian, musik-musik tradisional, pertunjukan tradisional seperti wayang, dan pencak silat. Karena masyarakat kita yang sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan dan kebudayaan lama untuk mengganti dengan kebudayaan baru, maka para Wali dan Penyebar Agama Islam di Indonesia menggunakan media budaya kemudian memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Contohnya sunan Kalijaga yang menyebarkan Islam melalui tokoh pewayangan yang dahulunya berasal dari agama Hindu, kemudian diubah secara halus untuk memasukkan unsur Islam ke dalam pewayangan itu sendiri.

Jadi, selamatan adalah budaya yang dipertahankan oleh para wali, kemudian diberi unsur Islam di dalamnya. Seperti contohnya dahulu mereka meminta keselamatan kepada leluhur atau dewa-dewa, tapi oleh para wali diubah pandangannya untuk meminta keselamatan kepada Allah SWT, terbukti bahwa bacaan do'a-do'a yang dipanjatkan dalam setiap acara selamatan, mereka meminta keselamatan kepada Yang Membuat Hidup yang tak lain adalah Allah SWT.


Hukum Selamatan Menurut Pandangan Islam

Ada dua pendapat yang umum disampaikan oleh para ulama mengenai budaya selamatan:

Pendapat Pertama, menurut sebagian ulama (tanpa saya sebutkan) bahwa selamatan adalah kegiatan yang baru dalam agama yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan Rosulnya Muhammad SAW atau sudah umum kita sebut dengan "BID'AH". Hal ini merujuk pada sebuah hadits berikut:

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

Menurut mereka, acara selamatan adalah suatu perkara yang dibuat seseorang/segolongan orang yang menyerupai syari'at untuk tujuan beribadah kepada Allah SWT. Dan acara yang demikian adalah dilarang oleh Allah dan Rosulnya.

Pendapat Kedua, menurut beberapa ulama yang lain, selamatan diperbolehkan, karena di dalamnya tidak ada unsur-unsur musyrik atau menyembah selain Allah asalkan do'a yang dipanjatkan hanya untuk Allah SWT. Jika ada sesaji atau hidangan itu tujuannya adalah sedekah (yang pasti tidak perlu didalilkan akan perintahnya). Selamatan sendiri adalah kebudayaan, bukan acara peribadatan seperti yang dimaksudkan oleh ulama yang mengutarakan pendapat pertama di atas. Selamatan hanyalah sebuah bungkus, dan di dalamnya berisi ibadah-ibadah yang sebetulnya diperintahkan secara jelas oleh Allah dan Rosulullah, seperti do'a, sedekah dalam bentuk makanan (sesaji), silaturahmi (bersalam-salaman), dzikir (seperti bacaan tahlil dll), yang kesemuanya itu tidak melanggar atau tidak mengada-adakan suatu perkara peribadatan. Jadi, selamatan sendiri itu bukan unsur ibadah, tetapi selamatan adalah unsur budaya, yang di dalamnya diisi dengan kegiatan ibadah.
Jika ada waktu tertentu yang dilakukan oleh umat muslim dalam menggelar acaranya, misalkan acara selamatan orang mati, biasanya dilakukan pada 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak 1, pendak 2, dan 1000 hari, itu hanyalah perjanjian di antara mereka yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam. Karena pada dasarnya, selamatan adalah bentuk atau wujud dari sodakoh, silaturohim, dan dzikir bersama tetapi dikemas dalam sebuah budaya yaitu selamatan, dan kesemuanya itu bisa dilakukan setiap waktu. Tetapi karena unsur kebiasaan dan kebudayaan dari jaman dahulu, maka menggelar acara yang demikian tetap dilaksanan dalam kurun waktu tertentu, dan itu hanyalah sebatas perjanjian tak tertulis oleh orang-orang yang melakukan selamatan itu sendiri, seperti contohnya perjanjian nasional bahwa hari minggu semua sekolah dan semua instansi diliburkan. Ini kan juga perjanjian manusia. Entah mereka mau libur atau tidak, itu adalah hak masing-masing tanpa dipaksakan.

Bedah Masalah
Sebelum kita mengulas kedua pendapat di atas, ada baikknya kita menengok sebentar tentang hal yang mirip dengan acara selamatan. Apakan saudara pernah mendengar istilah Aqiqah? Sebenarnya darimana asal muasal Aqiqah itu sendiri? Aqiqah adalah budaya Jahilliyah yang diambil oleh islam dan dimodifikasi agar sesuai dengan syari'at Islam seperti yang tertulis dalam hadits di bawah ini,
Diriwayatkan oleh Buraidah bahwa, "Pada zaman Jahiliyyah, apabila kami mendapat seorang anak lelaki, maka kami menyembelih seekor kambing, maka kami mencukur kepala bayi tersebut, lalu kepalanya kami sapu dengan darah kambing yang disembelih itu". Menurut riwayat Ibnu Sakan pula "Orang-orang Jahiliyyah meletakkan kapas yang telah dicelup dengan darah aqiqah lalu kapas yang penuh dengan darah tersebut disapu ke ubun-ubun bayi yang baru saja dilahirkan itu". Setelah datangnya Islam, perkara itu tidak dibenarkan oleh Rasullullah s.a.w. Baginda saw menyuruh menggantikannya dengan meletakkan haruman kasturi pada kepala bayi yang baru dilahirkan itu.
Demikianlah sekilas sejarah adanya Aqiqah yang dulunya berasal dari budaya Jahilliyah kemudian karena budaya itu menurut Rosulullah baik, maka tetap dipertahankan tetapi dengan memodifikasi sedikit agar sesuai dengan syari'at Islam.

Baiklah, kita lanjutkan, terus bagaimana kita menyikapi kedua pendapat tersebut? Coba kita pikirkan dengan akal sehat dan hati yang terbuka (tentunya tanpa menyalahkan salah satu pihak).

Pendapat pertama bisa diterima jika,
  1. Selamatan dianggap wajib dan harus dilakukan
  2. Selamatan menggunakan harta yang bukan miliknya, misalkan berhutang, atau harta milik anak yatim (seumpama seorang ayah meninggal dan harta yang seharusnya milik si anak digunakan untuk selamatan)
  3. Selamatan dengan meminta keberkahan kepada selain Allah, misalkan kepada penjaga laut, atau makhluk lainnya
Pendapat kedua bisa diterima jika,
  1. Selamatan adalah wujud dari sedekah, silaturahmi, dan acara do'a & dzikir bersama
  2. Selamatan ditujukan hanya untuk mendapatkan ridho Allah SWT
  3. Selamatan tidak dianggap sesuatu yang diwajibkan, tetapi yang harus dianggap ibadah adalah sedekah, do'a, dzikir, dan silaturahmi yang terkandung di dalamnya.
Demikian ulasan singkat yang sebenarnya masih kurang dalam penyampaian dan penulisannya. Apabila ada salah kata, mohon beritahu kami melalui komentar di bawah, karena penulis hanya lah manusia yang sejatinya tidak mempunyai kemampuan apapun dan bukan yang paling benar. Ingatlah, bukan manusia yang maha benar, tetapi hanya Allah lah Yang Maha Benar.





Komentar anda sangat diharapkan untuk ikut membangun blog ini! Syarat berkomentar:
1. Isi berupa saran dan kritik yang membangun
2. Tidak berisi kata sara, ejekan, atau hinaan terhadap satu atau sebagian kaum
3. Apabila ada perbedaan pendapat silakan sampaikan secara musyawarah & mufakat

Related

Ushul Fiqih 1367881416515059723

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Follow Us

Like Us

Live Traffic

item